Yogyakarta memegang andil besar dalam perjuangan para pahlawan menjelang kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa di era kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono I-XI, ada banyak kedaulatan politik yang berpengaruh pada kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Jika ditarik mundur, Kedhaton Ambarrukmo bisa dikatakan sebagai sebuah memorabilia— tempat yang merekam segala peristiwa jelang merdekanya Indonesia dari jajahan kolonial serta Jepang.
Perayaan kemerdekaan tanah air ke-79 akan dijadikan sebagai momen refleksi sekaligus napak tilas, bagaimana sumbangsih Kedhaton Ambarrukmo di bawah pemerintahan raja-raja terdahulu dalam cakupan Yogyakarta hingga nasional.
Hadirnya Kedhaton Ambarrukmo Jadi Saksi Bisu Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Sebelum berdiri megah seperti sekarang, Kedhaton Ambarrukmo dulunya adalah area perkebunan kerajaan yang memiliki sebutan “Jenu”. Kemudian pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II (1792-1812) area tersebut dialih fungsikan sebagai tempat beristirahat (Pesanggrahan), area penyambutan tamu-tamu kerajaan, sekaligus menjadi tempat perundingan keputusan-keputusan penting.
Memasuki tahun 1857, area tersebut kemudian diperlebar dengan mendirikan beberapa bangunan baru. Di bawah kuasa Sri Sultan Hamengku Buwono VI, area tersebut akhirnya berganti nama menjadi Pesanggrahan Harja Purna. Seiring berjalannya waktu, kedaulatan di pemerintahan Yogyakarta berjalan dengan cukup riuh karena ada campur tangan banyak pihak untuk meruntuhkan Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Pasca meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono VI, posisi putra mahkota pun jadi permasalahan besar yang melibatkan berbagai pihak. Akhirnya, nama Gusti Raden Mas Murtejo (nama kecil dari Hamengku Buwono VII) naik tahta untuk menjadi raja.
Tercatat bahwa Hamengku Buwono VII menjabat di tahta pemerintahan pada tahun 1877-1921 atau selama 44 tahun lamanya. Tahun-tahun tersebut adalah masa modernisasi pertama di Yogyakarta karena Hamengku Buwono VII mulai mengembangkan industrialisasi berbagai sektor.
Ada banyak pabrik yang dibangun, salah satunya adalah pabrik gula, serta berbagai jenis perkebunan. Setelah mendapatkan keuntungan besar dalam bisnisnya, Sultan kemudian memanfaatkannya untuk membangun berbagai infrastruktur besar di Yogyakarta seperti jalan, Tugu Golong-gilig, dan bangunan pemerintahan lainnya. Tak hanya itu, ada berbagai bangunan ikonik lainnya seperti Masjid Gedhe dan Makam Raja-raja di Kotagede yang juga menjadi saksi bisu perombakan besar-besaran yang dilakukan Hamengku Buwono VII.
Di akhir masa jabatannya, Hamengku Buwono VII kemudian merubah Pesanggrahan Harja Purna menjadi Kedhaton Ambarrukmo. Di tempat inilah, beliau menghabiskan sisa hidupnya bersama sang permaisuri— Ratu Kencono dan juga kedua pangeran yakni Pangeran Subronto dan Pangeran Ario Suryo Subanto.
Peran besar Kedhaton Ambarrukmo dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia pun mulai kian terasa ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat. Kedhaton Ambarrukmo sempat mengalami banyak perubahan fungsi ketika memasuki pemerintahan Hamengku Buwono IX.
Sumber-sumber lisan mencatat bahwa Kedhaton Ambarrukmo pernah dimanfaatkan oleh Belanda untuk dijadikan markas tentara di tahun 1945-1949. Namun, setelah Belanda meninggalkan Indonesia, bangunan Kedhaton Ambarrukmo lalu diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai perumahan sementara bagi pegawai kantor pos di tahun 1950.
Kedhaton Ambarrukmo Pasca Kemerdekaan Indonesia
Di sisi lain, ketika memasuki awal tahun 1946, Presiden Soekarno secara resmi memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Keputusan ini diambil karena Jakarta dianggap tidak aman dan tak kondusif, akibat masuknya NICA (Netherlands Indies Civil Administration) serta masih ada tentara-tentara Jepang yang belum ditarik lagi ke negaranya.
Berkat saran dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Presiden Soekarno bersama para pejabat petinggi negara langsung bertolak ke Yogyakarta tanpa membawa harta benda apapun. Pusat pemerintahan pun dipindahkan sementara di Gedung Agung Yogyakarta hingga 27 Desember 1949.
Memasuki era 1945-1964, Kedhaton Ambarrukmo sempat digunakan sebagai kantor Pemerintahan Kabupaten Sleman pada generasi awal. Sebagai penanda peristiwa ini terjadi, dibangunlah monumen (tetenger) “Panca Hasta” yang memiliki arti Lima Tangan; pemegang jabatan. Monumen ini terletak di sisi selatan Pendhopo Agung Kedhaton Ambarrukmo. Keseluruhan bangunan Kedhaton Ambarrukmo pasca kemerdekaan Indonesia pun masih terawat dengan baik dan sering digunakan untuk berbagai acara budaya serta seni.
Di samping itu, Yogyakarta terus berkembang menjadi sebuah kota modern yang terus menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan. Ketika memasuki periode pasca revolusi, ada andil besar dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam faktor geo-politik hingga budaya.
Melalui berbagai kebijakannya, Keraton Yogyakarta berhasil menyeimbangi era globalisasi saat ini dengan mempertahankan berbagai budaya, adat, dan tradisi, tanpa meninggalkan marwahnya. Gaya kepemimpinan visioner beliau menjadi faktor penting yang membentuk Yogyakarta sebagai rumah bagi semua kesenian serta pariwisata.
Setelah 79 tahun berlalu, Yogyakarta tetap menjadi salah satu kota di Indonesia yang berkontribusi besar untuk memajukan perekonomian, pendidikan, serta berbagai sektor lainnya secara nasional. Momentum perayaan kemerdekaan ke-79 ini mengambil tema “Nusantara Baru, Indonesia Maju” yang merefleksikan kesatuan seluruh wilayah dan masyarakat Indonesia.
Nantikan beragam update mengenai wisata, budaya, akomodasi, hingga event yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya dengan mengikuti Instagram @ambarrukmo, YouTube Ambarrukmo, serta website resmi Ambarrukmo.