Kedhaton Ambarrukmo adalah satu dari sekian bangunan bersejarah bagi pemerintahan Yogyakarta yang menyimpan banyak cerita dan jejak perjuangan. Kisah ini dimulai pada tahun 1939, ketika berita meninggalnya Sultan Hamengku Buwono VIII menciptakan guncangan dalam hati rakyat Yogyakarta. Kepergiannya meninggalkan kerisauan besar dalam proses suksesi yang segera dimulai, karena putranya, Sultan Hamengku Buwono IX, harus mengambil alih tahta dengan pendidikan yang belum selesai di Belanda.
Namun, apa yang membuat kisah kedua Sultan ini begitu mengagumkan adalah cara mereka menanggapi tantangan ini. Menurut sumber, Sultan Hamengku Buwono IX tidak hanya menerima nasibnya begitu saja di bawah Belanda.
Beliau mengambil waktu lima bulan untuk menegosiasikan kontrak politiknya dengan pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya setelah dua tahun kemudian Belanda pergi meninggalkan Indonesia dan digantikan oleh pendudukan Jepang.
Tangan Emas Sultan Hamengku Buwono IX Ambil Alih Kedhaton Ambarrukmo dari Belanda
Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX membawa perubahan besar bagi Kedhaton Ambarrukmo. Tempat ini, yang sebelumnya merupakan bagian dari sultan ground, kini bisa dipergunakan untuk kepentingan publik. Sayangnya, catatan tertulis yang tersisa tentang aktivitas yang terjadi di sini selama masa pendudukan Jepang dan masa pascakolonial sangatlah sedikit.
Sumber-sumber lisan menceritakan bahwa Kedhaton Ambarrukmo pernah diduduki oleh Belanda dan dijadikan markas tentara selama periode revolusi kemerdekaan. Serangan Belanda dua kali terhadap kota Yogyakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda 1947 dan 1948, juga mencatat sejarah tragis di tempat ini.
Pada akhirnya, Belanda menduduki Ambarrukmo pada Desember 1948, sebelum akhirnya ditarik mundur pada Juni 1949. Tahun 1949 Ibukota Indonesia pun kembali beralih ke Jakarta dan Kedhaton Ambarrukmo kembali beralih fungsi sebagai tempat pendidikan Kepolisian Republik Indonesia dari tahun 1949-1950.
Setelah Belanda pergi, Kedhaton Ambarrukmo diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian dipergunakan untuk perumahan sementara bagi para pegawai Kantor Pos. Pada masa itu, pemerintah pusat memiliki keterbatasan finansial, sehingga hampir semua kebutuhan administrasi dan pemerintahan dibantu oleh pihak Keraton, terutama oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Kedhaton Ambarrukmo Jadi Simbol Pemerintahan Kabupaten Sleman Tempo Dulu
Termasuk Kedhaton Ambarrukmo yang juga digunakan sebagai kantor administrasi Bupati sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman pada tahun 1947 hingga 1964. Total sebanyak lima Bupati Sleman selama periode 1945-1964 pernah berkantor di Ambarrukmo. Peristiwa ini diabadikan dalam bentuk monumen “Panca Hasta” (Lima Tangan) yang bisa dilihat di Pesanggrahan Ambarrukmo.
Pada tahun 1960-an, Kedhaton Ambarrukmo memasuki babak baru dalam sejarahnya. Pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk menggunakan dana pampasan perang dari hasil perjanjian dengan Jepang untuk membangun berbagai proyek, salah satunya adalah Hotel Ambarrukmo.
Sultan Hamengku Buwono IX mendukung gagasan ini, dan tanah di kompleks Kedhaton Ambarrukmo dipilih sebagai lokasi untuk pembangunan hotel yang akan menjadi salah satu mercusuar pembangunan nasional. Pembangunan Hotel Ambarrukmo adalah tanda nyata kerja sama erat antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Presiden Sukarno. Hotel Ambarrukmo sejak awal sudah diproyeksikan sebagai sebuah galeri budaya yang memadukan gaya international style dengan unsur-unsur tradisional Jawa.
Ambarrukmo merupakan salah satu simbol dari komitmen untuk membangun bangsa ini melalui kekayaan budaya Jawa. Seiring berjalannya waktu, Kedhaton Ambarrukmo terus berubah fungsi, tetapi tetap menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya Yogyakarta.
Bangunan cagar budaya tersebut terdiri dari beberapa ruangan utama seperti area Pesanggrahan Ambarrukmo dengan Gadri (Ruang Makan), Balekambang Ambarrukmo, hingga Pendopo Agung. Lokasi Kedhaton Ambarrukmo saat ini berada di tengah bangunan Mall Plaza Ambarrukmo dan Royal Ambarrukmo Hotel.
Setiap detil bangunan, ukiran, dan juga barang peninggalan Sultan Hamengku Buwono IX pun masih tersimpan rapih dan terus dijaga hingga saat ini. Kedhaton Ambarrukmo adalah bunga revolusi yang perlu dijaga dan dilestarikan agar terus tumbuh dan berbunga hingga kelak untuk generasi penerus bangsa. Ada berbagai jejak sejarah dan budaya lainnya yang seru untuk dikulik dari Ambarrukmo, nantikan berbagai informasi selengkapnya melalui website resmi Ambarrukmo dan Instagram @ambarrukmo.